Skip to main content

Kei, Cinta di Tengah Perang

Judul: Kei: Kutemukan Cinta Di Tengah Perang 

Penulis: Erni Aladjai 

Penerbit: Gagas Media

Jumlah halaman: 250


Akhirnya aku membaca buku yang katamu instagrammable ini. Kei, kutemukan cinta di tengah perang. Awal membeli novel ini di bursa buku, aku tak berekspektasi apa-apa sampai kulihat label novel unggulan DKJ 2012. Wah, novel ini pasti punya sesuatu yang berhasil memikat para juri, entah apa. Yang kutahu, ini kisah cinta yang tak biasa sebab bermula di tengah kerusuhan perang.

Kei, mungkin ini nama orang, mungkin juga kejadian. Setelah menelusuri novel ini, barulah kutahu Kei adalah nama pulau di Maluku sana. Pulaunya Ambon Manise. Kei bercerita tentang kerusuhan Ambon tahun 1999--2001. Mengenai kerusuhan ini, aku teringat satu teman SD-ku.
"Rivaldy, kamu nggak pulang kampung?"
"Tidak bisa, Nadia, di Ambon sedang ada kerusuhan."
Kemudian Rivaldy tidak masuk-masuk lagi. Pindah sekolah, katanya. Dia orang pertama yang memberitahuku sedang ada kerusuhan di Maluku sekaligus membuatku cemas melalui kata kerusuhan yang dilontarkannya. Nadia kecil tak pernah suka kerusuhan, tak suka ribut-ribut. Sampai sekarang.

Membaca Kei membuatku bergidik ngeri. Kepala yang tertebas, tembakan di dada, debaran kekhawatiran atas keselamatan keluarga di seberang pulau, juga nasib yang tak jelas mengarah ke mana. Itulah Kei, sedikit gambaran mengenai kerusuhan tahun 1999 yang dipicu isu agama. Sedih rasanya. Aku tak tahu berapa kali mengalirkan air mata selama membaca novel ini. Erni Aladjai pandai mengaduk-aduk perasaan.

Berbicara soal perasaan, aku mudah tergoda oleh novel-novel percintaan. Itulah mengapa aku membeli Kei tanpa banyak pertimbangan. Aku suka karena aku ingin tenggelam dan lautan perasaan yang dimainkan pengarang. Pengarang yang lihai akan membawa pembaca ikut sendu merindu, meledak-ledak gembira karena indahnya perjumpaan, dan terbakar dalam api asmara yang membara. Rasanya seperti ikut jatuh cinta, sementara pikiran sibuk terbang mencari satu sosok nyata yang bersemayam di sanubari. Susah, ya, fokus membaca ketika dirimu sedang tak di tempat. Oke, ini mulai melantur dari ulasan!

Aku tak perlu membahas novel ini ala-ala anak SMA yang diminta membuat ulasan, bukan? Aku hanya mau mengungkapkan satu pesan yang diwariskan leluhur Kei, "Ain ni ain manut ain mehe ni tilur, wuut ain mehe ni ngifun." Kita semua bersaudara, kita adalah telur-telur yang berasal dari ikan yang sama dan seekor burung yang sama pula.

"Jangan sampai kita terlibat. Baik orang Kei, perantau Bugis, Papua, Jawa, Makassar, atau Buton, semua bersaudara. Di sini perbedaan agama bukanlah untuk bermusuhan," sahut Ismael Kabalmay, imam masjid di Elaar. Perdamaian. Semoga dengan membaca novel ini, kita bisa memahami arti hidup berdampingan dengan damai. Sudah terlalu rusuh bumi kita ini, cinta. Make some peace.

Luv and peace,
Nadia Almira Sagitta

Comments

Popular posts from this blog

Dialog Zainuddin Hayati

"Saya akan berterus terang kepadamu. Saya akan jujur kepadamu. Akan saya panggil kembali namamu, sebagaimana dahulu pernah saya panggilkan. Zainuddin. Saya sudi menanggung segenap cobaan yang menimpa diriku asalkan kau sudi memaafkan segenap kesalahanku." "Maaf? Kau regas segenap pucuk pengharapanku, kau patahkan, kau minta maaf?" "Mengapa kau jawab aku sekejam itu, Zainuddin? Sudah hilangkah tentang kita dari hatimu? Janganlah kau jatuhkan hukuman. Kasihanilah perempuan yang ditimpa musibah berganti-ganti ini." "Iya, demikianlah perempuan. Ia hanya ingat kekejaman orang kepada dirinya walaupun kecil dan ia lupa kekejamannya sendiri pada orang lain padahal begitu besarnya. Lupakah kau siapakah di antara kita yang kejam? Bukankah kau yang telah berjanji ketika saya diusir oleh ninik-mamakmu karena saya asalnya tidak tentu, orang hina-dina, tidak tulen Minangkabau! Ketika itu kau antarkan saya ke simpang jalan, kau berjanji akan menunggu kedatanga...

Surat Hayati

Pergantungan jiwaku, Zainuddin Sungguh besar sekali harapanku untuk bisa hidup di dekatmu. Supaya mimpi yang telah engkau rekatkan sekian lamanya bisa makbul. Supaya dapat segala kesalahan yang besar-besar yang telah kuperbuat terhadap dirimu saya tebusi. Tetapi cita-citaku itu tinggal selamanya menjadi cita-cita sebab engkau sendiri yang menutup pintu di depanku. Saya engkau larang masuk. Sebab engkau hendak mencurahkan segala dendam, kesakitan yang telah sekian lama bersarang di dalam hatimu. Lantaran membalas dendam itu, engkau ambil suatu keputusan yang maha kejam. Engkau renggutkan tali pengharapanku, padahal pada tali itu pula pengharapanmu sendiri bergantung. Sebab itu, percayalah Zainuddin bahwa hukuman ini bukan mengenai diriku seorang, bukan ia menimpa celaka kepadaku saja, tetapi kepada kita berdua. Karena saya tahu bahwa engkau masih tetap cinta kepadaku.  Zainuddin, kalau saya tak ada, hidupmu tidak juga akan beruntung. Percayalah, di dalam jiwaku ada suatu kek...

Review Salon Flaurent Jogja

Heyyyy, guys! Kali ini, saya mau review salon Flaurent Jogja yang baru saja saya kunjungi tadi. Dua tahun lalu, saya juga sempat ke sini bareng ibu, nah kali ini bareng tante. Bisa dibilang, ini salon perempuan pertama yang saya datangi dan memprakarsai hobi baru saya di Depok, yakni nyalon. Wakakaka. Tanteku memberi saran untuk mengambil paket mini yang terdiri dari body spa, hair spa, dan facial . Tiga perawatan ini bisa kalian ambil dengan merogoh kocek Rp125.000,00. Gila. Ini-murah-banget! Salon langgananku aja bisa kena biaya sekitar Rp300.000,00.

Percakapan Ponakan dan Om Tante

A: Ante, ke dokterlah. Supaya tahu sakitnya. Kasihan batuk dan menggigil terus. T: Indaklah. Ante ndak suka minum obat. A: Loh, siapa yang suruh minum obat. Ke dokter saja. R: Ha, lepas tu? Buat apa kita ke dokter, kak? A: Ya cek ajalah. Nanti kalau dikasih resep, tak usah beli kalau tak mau diminum. R: Entah apa-apa kakak ini. Haha, cengkunek. O: Ntah berkelit ke berapa hari ini. Tak mau kalah dia. A: Wah, mestilah, Om. Anak sastra mesti jago berkelit. R: Aduuuh, gimanalah suami kakak nanti itu. Ribut, lah. A: Mana pulak. Indak, lah. R: Kalau dapat yang heboh juga, wah saling berkelit nanti. Jangan sama anak sastra lagi, kak. O: Sama anak ekonomi saja, Nadia. A: Kenapa coba? O: Supaya nanti dia bisa menghitung, "Nah, sudah berkelit berapa kali istriku malam ini?" Kerjaan anak ekonomi, kan, menghitung-hitung saja, Nadia. A: Hahahahha. Alaaaah, si Om!  Medan, dalam mobil Karimun