Judul: Kei: Kutemukan Cinta Di Tengah Perang
Penulis: Erni Aladjai
Penerbit: Gagas Media
Jumlah halaman: 250
Kei, mungkin ini nama orang, mungkin juga kejadian. Setelah menelusuri novel ini, barulah kutahu Kei adalah nama pulau di Maluku sana. Pulaunya Ambon Manise. Kei bercerita tentang kerusuhan Ambon tahun 1999--2001. Mengenai kerusuhan ini, aku teringat satu teman SD-ku.
"Rivaldy, kamu nggak pulang kampung?"
"Tidak bisa, Nadia, di Ambon sedang ada kerusuhan."
"Tidak bisa, Nadia, di Ambon sedang ada kerusuhan."
Kemudian Rivaldy tidak masuk-masuk lagi. Pindah sekolah, katanya. Dia orang pertama yang memberitahuku sedang ada kerusuhan di Maluku sekaligus membuatku cemas melalui kata kerusuhan yang dilontarkannya. Nadia kecil tak pernah suka kerusuhan, tak suka ribut-ribut. Sampai sekarang.
Membaca Kei membuatku bergidik ngeri. Kepala yang tertebas, tembakan di dada, debaran kekhawatiran atas keselamatan keluarga di seberang pulau, juga nasib yang tak jelas mengarah ke mana. Itulah Kei, sedikit gambaran mengenai kerusuhan tahun 1999 yang dipicu isu agama. Sedih rasanya. Aku tak tahu berapa kali mengalirkan air mata selama membaca novel ini. Erni Aladjai pandai mengaduk-aduk perasaan.
Berbicara soal perasaan, aku mudah tergoda oleh novel-novel percintaan. Itulah mengapa aku membeli Kei tanpa banyak pertimbangan. Aku suka karena aku ingin tenggelam dan lautan perasaan yang dimainkan pengarang. Pengarang yang lihai akan membawa pembaca ikut sendu merindu, meledak-ledak gembira karena indahnya perjumpaan, dan terbakar dalam api asmara yang membara. Rasanya seperti ikut jatuh cinta, sementara pikiran sibuk terbang mencari satu sosok nyata yang bersemayam di sanubari. Susah, ya, fokus membaca ketika dirimu sedang tak di tempat. Oke, ini mulai melantur dari ulasan!
Aku tak perlu membahas novel ini ala-ala anak SMA yang diminta membuat ulasan, bukan? Aku hanya mau mengungkapkan satu pesan yang diwariskan leluhur Kei, "Ain ni ain manut ain mehe ni tilur, wuut ain mehe ni ngifun." Kita semua bersaudara, kita adalah telur-telur yang berasal dari ikan yang sama dan seekor burung yang sama pula.
"Jangan sampai kita terlibat. Baik orang Kei, perantau Bugis, Papua, Jawa, Makassar, atau Buton, semua bersaudara. Di sini perbedaan agama bukanlah untuk bermusuhan," sahut Ismael Kabalmay, imam masjid di Elaar. Perdamaian. Semoga dengan membaca novel ini, kita bisa memahami arti hidup berdampingan dengan damai. Sudah terlalu rusuh bumi kita ini, cinta. Make some peace.
Luv and peace,
Nadia Almira Sagitta
Nadia Almira Sagitta
Comments
Post a Comment