Skip to main content

Keragu-raguan Masa Depan

Omong-omong soal mimpi, aku kepikiran sesuatu sehari lalu. Bagaimana jika mimpiku dan mimpimu begitu berbedanya hingga kita dituntut bekerja di tempat yang tak sama? Contohnya saja ayahku. Ia diminta bekerja di luar negeri, sementara ibuku sedang bekerja di Indonesia. Karir keduanya sama-sama menanjak, mau tak mau ada yang harus mengalah. Ibuku. Ia mengalah setelah belasan tahun bekerja. Ia memilih mengikuti Ayah ke Amerika dan menjadi ibu rumah tangga. Kelihatan tak adil, tetapi Allah sudah memberi ibuku kesempatan untuk mengejar mimpinya.

Coba ke cerita lain. Apa kau sudah menonton 99 Cahaya di Langit Eropa? Hanum menemani Rangga studi ke Austria. Seru memang tampaknya, ia bebas berjalan-jalan. Akan tetapi, diceritakan bahwa ia bosan karena tak ada kegiatan yang mengaktualisasi dirinya. Oh man, aku takut suatu saat akan seperti itu.

Cerita lain lagi. Aku punya seorang senior yang diboyong ke Turki oleh suaminya. Di sana ia menjadi ibu rumah tangga. Ia mengikuti les bahasa Turki dan menempuh studi master. Keren, sih, alhamdulillah. 

Dari tiga cerita tadi, kau akan membawaku ke jalan yang mana?

Kemarin aku berdiskusi perihal masalah ini ke temanku, "Dil, aku takut bila nanti ada yang ingin mengikatkan hatinya padaku, tetapi ia mensyaratkan aku untuk mengikutinya ke mana saja."
"Ya ikuti saja."
"Bukan itu. Kau tahu aku mau jadi dosen, kan? Aku mau mengabdi ke almamater. Bagaimana mungkin terwujud bila aku harus mengikutinya ke negara X, ke negara Y. Kayak ibu dan ayahku."
"Ikuti, Nad. Jadi ibu rumah tangga."
"Lah iya kalau sudah punya anak. Kalau belum? Aku ngapain di rumah? Nganggur gitu aja sementara dia sibuk kerja? Aku nggak mau. Aku bahkan berpikiran untuk LDM."
"Nggak sehat."
"I know, I know. It is complicated, okay? Ah, susah sekali menjadi perempuan. Okelah aku mau ikut dia, tetapi aku mau menjalani mimpiku dulu. Aku tidak ingin serta-merta diboyong ke suatu daerah seperti seniorku itu."
Ia diam, kemudian aku melanjutkan.
"Apa aku menunda menikah saja, ya? I want to pursue my dream first. Aku mau S-2, aku mau S-3, aku mau ngajar. Eh kalau kayak begitu, aku nggak nikah-nikah dong, ya? Hahahah. Aneh banget udah mikirin dari sekarang, sosok si dia saja aku tak tahu." 
 
Apa aku menikah sama linguis aja, ya? Udah jelas, kan, sevisi dan semisi. Entahlah. Aku tak mau berpikir lebih jauh.
 
Salam,
Nadia Almira Sagitta

Comments

Popular posts from this blog

Dialog Zainuddin Hayati

"Saya akan berterus terang kepadamu. Saya akan jujur kepadamu. Akan saya panggil kembali namamu, sebagaimana dahulu pernah saya panggilkan. Zainuddin. Saya sudi menanggung segenap cobaan yang menimpa diriku asalkan kau sudi memaafkan segenap kesalahanku." "Maaf? Kau regas segenap pucuk pengharapanku, kau patahkan, kau minta maaf?" "Mengapa kau jawab aku sekejam itu, Zainuddin? Sudah hilangkah tentang kita dari hatimu? Janganlah kau jatuhkan hukuman. Kasihanilah perempuan yang ditimpa musibah berganti-ganti ini." "Iya, demikianlah perempuan. Ia hanya ingat kekejaman orang kepada dirinya walaupun kecil dan ia lupa kekejamannya sendiri pada orang lain padahal begitu besarnya. Lupakah kau siapakah di antara kita yang kejam? Bukankah kau yang telah berjanji ketika saya diusir oleh ninik-mamakmu karena saya asalnya tidak tentu, orang hina-dina, tidak tulen Minangkabau! Ketika itu kau antarkan saya ke simpang jalan, kau berjanji akan menunggu kedatanga...

Surat Hayati

Pergantungan jiwaku, Zainuddin Sungguh besar sekali harapanku untuk bisa hidup di dekatmu. Supaya mimpi yang telah engkau rekatkan sekian lamanya bisa makbul. Supaya dapat segala kesalahan yang besar-besar yang telah kuperbuat terhadap dirimu saya tebusi. Tetapi cita-citaku itu tinggal selamanya menjadi cita-cita sebab engkau sendiri yang menutup pintu di depanku. Saya engkau larang masuk. Sebab engkau hendak mencurahkan segala dendam, kesakitan yang telah sekian lama bersarang di dalam hatimu. Lantaran membalas dendam itu, engkau ambil suatu keputusan yang maha kejam. Engkau renggutkan tali pengharapanku, padahal pada tali itu pula pengharapanmu sendiri bergantung. Sebab itu, percayalah Zainuddin bahwa hukuman ini bukan mengenai diriku seorang, bukan ia menimpa celaka kepadaku saja, tetapi kepada kita berdua. Karena saya tahu bahwa engkau masih tetap cinta kepadaku.  Zainuddin, kalau saya tak ada, hidupmu tidak juga akan beruntung. Percayalah, di dalam jiwaku ada suatu kek...

Review Salon Flaurent Jogja

Heyyyy, guys! Kali ini, saya mau review salon Flaurent Jogja yang baru saja saya kunjungi tadi. Dua tahun lalu, saya juga sempat ke sini bareng ibu, nah kali ini bareng tante. Bisa dibilang, ini salon perempuan pertama yang saya datangi dan memprakarsai hobi baru saya di Depok, yakni nyalon. Wakakaka. Tanteku memberi saran untuk mengambil paket mini yang terdiri dari body spa, hair spa, dan facial . Tiga perawatan ini bisa kalian ambil dengan merogoh kocek Rp125.000,00. Gila. Ini-murah-banget! Salon langgananku aja bisa kena biaya sekitar Rp300.000,00.

Percakapan Ponakan dan Om Tante

A: Ante, ke dokterlah. Supaya tahu sakitnya. Kasihan batuk dan menggigil terus. T: Indaklah. Ante ndak suka minum obat. A: Loh, siapa yang suruh minum obat. Ke dokter saja. R: Ha, lepas tu? Buat apa kita ke dokter, kak? A: Ya cek ajalah. Nanti kalau dikasih resep, tak usah beli kalau tak mau diminum. R: Entah apa-apa kakak ini. Haha, cengkunek. O: Ntah berkelit ke berapa hari ini. Tak mau kalah dia. A: Wah, mestilah, Om. Anak sastra mesti jago berkelit. R: Aduuuh, gimanalah suami kakak nanti itu. Ribut, lah. A: Mana pulak. Indak, lah. R: Kalau dapat yang heboh juga, wah saling berkelit nanti. Jangan sama anak sastra lagi, kak. O: Sama anak ekonomi saja, Nadia. A: Kenapa coba? O: Supaya nanti dia bisa menghitung, "Nah, sudah berkelit berapa kali istriku malam ini?" Kerjaan anak ekonomi, kan, menghitung-hitung saja, Nadia. A: Hahahahha. Alaaaah, si Om!  Medan, dalam mobil Karimun