Skip to main content

Mimpi Luar Biasa!

Baru saja kemarin malam aku berkata pada Allah dan hatiku bahwa aku merindukanmu, lantas aku diberi-Nya mimpi semalam pada pukul 02.00 dini hari.

Seperti keinginanku kemarin, aku berandai-andai jika engkau datang ke rumahku, kau betulan datang ke rumahku membawa segerombolan kawanmu! Oh, Tuhan. Kau harus tahu betapa terkejutnya aku mendapati hadirmu sepulangnya aku membeli makanan bersama adikku. Kawan-kawanmu, yang kebanyakan lelaki, sibuk membenahi dan melengkapi miniatur suatu bangunan. Papan, kardus, lem, dan cat bertaburan di ruangan makanku. Di sebelah, yakni di dapur, kalian menggelar sajadah untuk salat Asar. Aku salat di saf belakang tentu saja dan di situlah aku menyadari hadirmu. Kau mengenakan jaket hitam dan berdiri pas di depanku. Andaikata tak ada mereka, barangkali aku bisa merasakan salat satu saf di belakangmu. Hahaha. Mulanya, aku tak yakin dan bertanya-tanya siapakah serombongan anak-anak yang masuk rumahku tanpa permisi. Akan tetapi, setelah melihat sesosok pemuda berkemeja hitam, aku tenang dan yakin itu adalah engkau. Engkau dan kelompokmu. Bagaimana tidak, aku sudah sangat hapal postur tubuhmu. 

Kau melempar pandang kepadaku. Aku menangkapnya lantas tertunduk malu. Astaga, kau di rumahku! Aku masih tak bisa percaya. Aku duduk diam di dekat pintu kamarku sembari memperhatikan kalian bekerja. Sementara itu, kau berjalan menghampiriku, "Hei, Nad. Ini kamarmu?"
"Eh, oh... iya." Dengan sigap aku berdiri dan memasang benteng di depan pintuku. Haha konyol, aku tahu. Aku baru ingat engkau begitu penasaran dengan kamarku. Aduh, kamarku berantakan! Buku-buku di kasur, boneka Barbie--beberapa tanpa busana--milik adikku terhampar di meja belajar, beberapa baju pun tergeletak di lantai. Kau tak boleh melihatnya, aku malu. Aku tak ingin kau meledekku seperti ledekan ibuku sehari-hari, "Ini kamar perempuan atau kamar laki-laki?" Kau tersenyum melihatku yang membentangkan tangan di depan pintu. Kau lalu memegang pundakku dan juga pinggangku--mencoba menghalauku yang sedang mengadangmu. Aku tersetrum dan terkejut! Kau... ah. Kau suka sekali mengejutkanku. "Kenapa kau masuk? Berantakan, kan. Tak pantas dilihat," ucapku lemah, masih diliputi rasa kaget dan malu. "Hahaha, tidak apa-apa. Santai," ujarmu lalu kau kembali ke pintu.

"Omong-omong, kau tahu rumahku dari mana?"
"Tentu saja aku tahu." Kau memutar bola matamu dan memasang ekspresi sok tahu. Hahaha, aku gemas melihatmu.
"Ih, aku serius. Tahu dari mana? Kau, kan, hanya tahu rute setengah jalan."
"Ya, tadi aku sedang berada di dekat-dekat sini bersama teman-temanku. Lalu kepikiran, mengapa tak mampir saja? Mudah, kok, mencari rumahmu."
Ah, kau. Bisa saja membuatku tersipu.
"Terus, terus. Kau dapat izin masuk dari siapa? Orang tuaku sedang tak di rumah, Mbakku pun sedang pulang kampung. Kalian masuk begitu saja?"
"Haha, coba kau tanyakan pada teman perempuanku yang satu itu," kau menunjuk sesosok gadis berambut sebahu yang berada di pojok.

"Hai, kak."
"Halo, Nadia."
"Eh iya, aku mau tahu kakak dan kawan-kawan tahu rumahku dari mana. Aku kaget saja saat melihat kalian berbondong-bondong ke rumahku."
"Oooh, itu. Adikku yang paling kecil berteman baik dengan adikmu, Nad. Ia yang menunjukkan rumahmu pada kami. Nah, aku mendapatkan nomor ponsel adikmu dari adikku. Jadilah kami meminta izin pada adikmu untuk meminjam rumahmu hari ini. Katanya, ibumu sudah mengizinkan, kok."
Heh? Fira, kok, tidak bilang apa pun padaku? Kalian bersekongkol, ya...

Aku kembali berdiri di sisimu. "Memangnya kalian bikin miniatur apa dan buat apa?"
"Ini miniatur sekolahku, Nad. Kita bikin ini sebagai kenang-kenangan untuk penjaga sekolah yang hari ini berusia 102 tahun (aku baru tersadar pagi ini kalau umur beliau murni rekayasa. Mana ada 102 tahun! Memangnya di mimpiku engkau setua apa?)"
"Oalah, manis sekali, ya."
"Iya. Beliau merupakan staf sekolah yang paling tua. Bolehlah diberi sedikit kenang-kenangan untuk beliau."

Aku selalu senang berada di dekatmu. Senang sekali. Hohoho, sebelum kau dan kawanmu datang, aku terkejut melihat kau berteman Facebook dengan adikku. Kau bahkan mengomentari satu fotonya yang diunggah di Instagram. Ya, Facebook adikku terintegrasi dengan Instagramnya. Ia memotret dirinya bersama segelas Starbucks. Itu permintaanku. Kami berdua berjanji memotret apa saja yang sedang kita makan dan minum. Biasalah, sisterhood's stuffs. Kau berkata padanya, "Jangan sering-sering memosting foto makanan. Khawatirnya, akan ada yang iri sama kita. Kan, nggak semuanya mampu menikmati apa yang kita makan. Jangan diulangi, Sayang." Hebat sekali! Kau mendakwahi adikku? Wakakaka, aku tertawa geli. Lagi, kau sebut ia Sayang? Oh, sudah sedekat apa kau dengan keluargaku? Ada-ada saja kau. Mengapa bukan aku saja yang kau panggil Sayang?

Menjelang matahari senja, pekerjaan kalian berangsur selesai. Tiba-tiba, kau dan kawan-kawanmu menanyakan penganan ringan padaku. Buset, nih, orang. Hahaha. Mentang-mentang tamu, ye. Kubuka lemari makanan dan kuambil penganan seadanya. Ibuku belum belanja bulanan, jadi tak banyak yang bisa kusuguhkan. Kemudian kalian makan dan bercengkrama dengan asyiknya. Beberapa kawanmu malah menggodaku denganmu. Aku, seperti biasa, hanya tertawa kecil dan tersipu malu. Sebenarnya, ada apa di antara kita? Mengapa mereka begitu sibuk menggoda kita berdua? Apakah kau...berbalik menyukaiku? Apakah itu alasannya kau memilih mengerjakan proyek miniatur ini di rumahku dan bukan di rumah kawan-kawanmu yang lain? Apakah itu pula yang mendasari keberanianmu mengomentari foto adikku? Benarkah kau cinta padaku? Aku sibuk dengan pikiranku sendiri tanpa sadar kau dan kawan-kawanmu mohon diri dan pamit pulang.

"Nadia...bangun, Nadia. Sahur, Nadia." Suara nenek membangunkanku. Ah, sudah setengah lima. Sisa setengah jam untuk sahur. Aku meregangkan otot-otot tanganku sembari tersenyum. Mimpi semalam luar biasa sekali. That's the best dream I've ever had. ♡

Kukatakan aku rindu, kau hadir di hadapanku.
Kuutarakan inginku kau bertandang ke istanaku, kau benar-benar datang membawa serombongan kawanmu
Kuungkapkan inginku kau rengkuh karena sepiku, kau pegang pundak dan pinggangku sekilas dalam mimpiku

Hahaha, tentu saja semua ini tak kuujarkan langsung kepadamu. Untuk apa? Aku hanya mengatakannya pada Allah dan blog-ku. Terima kasih, Allah, atas mimpi yang Kau berikan pada 14 Juli 2015 ini. Terima kasih pula Aan Mansyur! Puisi "Menjadi Tamu"-mu benar-benar merasuk dalam bunga tidurku.

Luv,
Nadia Almira Sagitta

Comments

Popular posts from this blog

Dialog Zainuddin Hayati

"Saya akan berterus terang kepadamu. Saya akan jujur kepadamu. Akan saya panggil kembali namamu, sebagaimana dahulu pernah saya panggilkan. Zainuddin. Saya sudi menanggung segenap cobaan yang menimpa diriku asalkan kau sudi memaafkan segenap kesalahanku." "Maaf? Kau regas segenap pucuk pengharapanku, kau patahkan, kau minta maaf?" "Mengapa kau jawab aku sekejam itu, Zainuddin? Sudah hilangkah tentang kita dari hatimu? Janganlah kau jatuhkan hukuman. Kasihanilah perempuan yang ditimpa musibah berganti-ganti ini." "Iya, demikianlah perempuan. Ia hanya ingat kekejaman orang kepada dirinya walaupun kecil dan ia lupa kekejamannya sendiri pada orang lain padahal begitu besarnya. Lupakah kau siapakah di antara kita yang kejam? Bukankah kau yang telah berjanji ketika saya diusir oleh ninik-mamakmu karena saya asalnya tidak tentu, orang hina-dina, tidak tulen Minangkabau! Ketika itu kau antarkan saya ke simpang jalan, kau berjanji akan menunggu kedatanga...

Surat Hayati

Pergantungan jiwaku, Zainuddin Sungguh besar sekali harapanku untuk bisa hidup di dekatmu. Supaya mimpi yang telah engkau rekatkan sekian lamanya bisa makbul. Supaya dapat segala kesalahan yang besar-besar yang telah kuperbuat terhadap dirimu saya tebusi. Tetapi cita-citaku itu tinggal selamanya menjadi cita-cita sebab engkau sendiri yang menutup pintu di depanku. Saya engkau larang masuk. Sebab engkau hendak mencurahkan segala dendam, kesakitan yang telah sekian lama bersarang di dalam hatimu. Lantaran membalas dendam itu, engkau ambil suatu keputusan yang maha kejam. Engkau renggutkan tali pengharapanku, padahal pada tali itu pula pengharapanmu sendiri bergantung. Sebab itu, percayalah Zainuddin bahwa hukuman ini bukan mengenai diriku seorang, bukan ia menimpa celaka kepadaku saja, tetapi kepada kita berdua. Karena saya tahu bahwa engkau masih tetap cinta kepadaku.  Zainuddin, kalau saya tak ada, hidupmu tidak juga akan beruntung. Percayalah, di dalam jiwaku ada suatu kek...

Review Salon Flaurent Jogja

Heyyyy, guys! Kali ini, saya mau review salon Flaurent Jogja yang baru saja saya kunjungi tadi. Dua tahun lalu, saya juga sempat ke sini bareng ibu, nah kali ini bareng tante. Bisa dibilang, ini salon perempuan pertama yang saya datangi dan memprakarsai hobi baru saya di Depok, yakni nyalon. Wakakaka. Tanteku memberi saran untuk mengambil paket mini yang terdiri dari body spa, hair spa, dan facial . Tiga perawatan ini bisa kalian ambil dengan merogoh kocek Rp125.000,00. Gila. Ini-murah-banget! Salon langgananku aja bisa kena biaya sekitar Rp300.000,00.

Percakapan Ponakan dan Om Tante

A: Ante, ke dokterlah. Supaya tahu sakitnya. Kasihan batuk dan menggigil terus. T: Indaklah. Ante ndak suka minum obat. A: Loh, siapa yang suruh minum obat. Ke dokter saja. R: Ha, lepas tu? Buat apa kita ke dokter, kak? A: Ya cek ajalah. Nanti kalau dikasih resep, tak usah beli kalau tak mau diminum. R: Entah apa-apa kakak ini. Haha, cengkunek. O: Ntah berkelit ke berapa hari ini. Tak mau kalah dia. A: Wah, mestilah, Om. Anak sastra mesti jago berkelit. R: Aduuuh, gimanalah suami kakak nanti itu. Ribut, lah. A: Mana pulak. Indak, lah. R: Kalau dapat yang heboh juga, wah saling berkelit nanti. Jangan sama anak sastra lagi, kak. O: Sama anak ekonomi saja, Nadia. A: Kenapa coba? O: Supaya nanti dia bisa menghitung, "Nah, sudah berkelit berapa kali istriku malam ini?" Kerjaan anak ekonomi, kan, menghitung-hitung saja, Nadia. A: Hahahahha. Alaaaah, si Om!  Medan, dalam mobil Karimun