Aku benar-benar kau tenggelamkan, An. Sampai hati kau meremas perasaanku pada sepuluh lembar pertama kisahmu. Jiwa lelaki setia. Ia mencintai Nanti walaupun ia ditinggalkan bersama serpihan kenangan. Sementara Nanti, ia memilih orang lain karena dipaksa oleh keadaan; Jiwa tak pernah memberi ketegasan berikut kepastian terhadap Nanti.
Kata Jiwa, "Aku tidak pernah ingin mengucapkan selamat tinggal. Aku tidak pernah mau beranjak dari masa lalu. Masa lalu, bagiku, hanyalah masa depan yang pergi sementara." Sebagian hatiku setuju pada pemikiran Jiwa. Belum-belum aku larut pada kekalutan hati, sebait lagu ini sayup-sayup mengiringi.
Bila cintaku ini salah
Hatiku tetap untukmu
Namun kenyataannya parah
Dirimu tak pernah untukku
Aku tak pernah ingin mengucapkan selamat tinggal lebih dulu. Berucap selamat tinggal berarti aku siap memulai lembar baru. Nyatanya, aku tidak sanggup meninggalkan semuanya jauh di belakang. Aku yakin ada titik terang untuk kita berdua. Cahaya itu setia di ujung sana, kita hanya perlu bergerak memutari jalan yang berkelok-kelok ini. Aku sendiri tak pernah menganggap cinta ini sia-sia walaupun kau tak kunjung membalas rasa. Hanya saja...
Aku betulan takut. Aku takut menjelma Nanti dan kau menjelma Jiwa. Aku takut perasaan ini terkorbankan hanya karena suara hati yang terlalu takut kau ungkapkan. Kau biarkan aku membangun ruang tunggu sendirian. Kau biarkan aku duduk manis menanti di ruang yang kubangun itu. Ketika akhirnya datang seseorang menawarkan diri untuk menemaniku, kau tak juga berjuang mempertahankanku.
Untuk merayakan cinta...kita butuh usaha dari dua insan
Tak bisa hanya satu
Tangan kiri saja tak bisa bertepuk bila tak bertemu dengan yang kanan
Si kiri meraba udara
Berusaha menggapai apa yang dapat digapai
Sayangnya hampa
Tak ada
Sesiapa
Aku kau biarkan jatuh
Tanpa ada usaha membantuku berdiri
Wajahku kau biarkan basah
Tanpa ada usaha mengapus air mataku
Bila cintaku ini salah,
Maukah kau memberitahu?
Comments
Post a Comment