Skip to main content

Jiwananti dan Aku

Aku benar-benar kau tenggelamkan, An. Sampai hati kau meremas perasaanku pada sepuluh lembar pertama kisahmu. Jiwa lelaki setia. Ia mencintai Nanti walaupun ia ditinggalkan bersama serpihan kenangan. Sementara Nanti, ia memilih orang lain karena dipaksa oleh keadaan; Jiwa tak pernah memberi ketegasan berikut kepastian terhadap Nanti.

Kata Jiwa, "Aku tidak pernah ingin mengucapkan selamat tinggal. Aku tidak pernah mau beranjak dari masa lalu. Masa lalu, bagiku, hanyalah masa depan yang pergi sementara." Sebagian hatiku setuju pada pemikiran Jiwa. Belum-belum aku larut pada kekalutan hati, sebait lagu ini sayup-sayup mengiringi.

Bila cintaku ini salah
Hatiku tetap untukmu
Namun kenyataannya parah
Dirimu tak pernah untukku

Aku tak pernah ingin mengucapkan selamat tinggal lebih dulu. Berucap selamat tinggal berarti aku siap memulai lembar baru. Nyatanya, aku tidak sanggup meninggalkan semuanya jauh di belakang. Aku yakin ada titik terang untuk kita berdua. Cahaya itu setia di ujung sana, kita hanya perlu bergerak memutari jalan yang berkelok-kelok ini. Aku sendiri tak pernah menganggap cinta ini sia-sia walaupun kau tak kunjung membalas rasa. Hanya saja...

Aku betulan takut. Aku takut menjelma Nanti dan kau menjelma Jiwa. Aku takut perasaan ini terkorbankan hanya karena suara hati yang terlalu takut kau ungkapkan. Kau biarkan aku membangun ruang tunggu sendirian. Kau biarkan aku duduk manis menanti di ruang yang kubangun itu. Ketika akhirnya datang seseorang menawarkan diri untuk menemaniku, kau tak juga berjuang mempertahankanku.

Untuk merayakan cinta...kita butuh usaha dari dua insan
Tak bisa hanya satu
Tangan kiri saja tak bisa bertepuk bila tak bertemu dengan yang kanan
Si kiri meraba udara
Berusaha menggapai apa yang dapat digapai
Sayangnya hampa
Tak ada
Sesiapa
Aku kau biarkan jatuh
Tanpa ada usaha membantuku berdiri
Wajahku kau biarkan basah
Tanpa ada usaha mengapus air mataku

Bila cintaku ini salah,
Maukah kau memberitahu?

Comments

Popular posts from this blog

Dialog Zainuddin Hayati

"Saya akan berterus terang kepadamu. Saya akan jujur kepadamu. Akan saya panggil kembali namamu, sebagaimana dahulu pernah saya panggilkan. Zainuddin. Saya sudi menanggung segenap cobaan yang menimpa diriku asalkan kau sudi memaafkan segenap kesalahanku." "Maaf? Kau regas segenap pucuk pengharapanku, kau patahkan, kau minta maaf?" "Mengapa kau jawab aku sekejam itu, Zainuddin? Sudah hilangkah tentang kita dari hatimu? Janganlah kau jatuhkan hukuman. Kasihanilah perempuan yang ditimpa musibah berganti-ganti ini." "Iya, demikianlah perempuan. Ia hanya ingat kekejaman orang kepada dirinya walaupun kecil dan ia lupa kekejamannya sendiri pada orang lain padahal begitu besarnya. Lupakah kau siapakah di antara kita yang kejam? Bukankah kau yang telah berjanji ketika saya diusir oleh ninik-mamakmu karena saya asalnya tidak tentu, orang hina-dina, tidak tulen Minangkabau! Ketika itu kau antarkan saya ke simpang jalan, kau berjanji akan menunggu kedatanga

Surat Hayati

Pergantungan jiwaku, Zainuddin Sungguh besar sekali harapanku untuk bisa hidup di dekatmu. Supaya mimpi yang telah engkau rekatkan sekian lamanya bisa makbul. Supaya dapat segala kesalahan yang besar-besar yang telah kuperbuat terhadap dirimu saya tebusi. Tetapi cita-citaku itu tinggal selamanya menjadi cita-cita sebab engkau sendiri yang menutup pintu di depanku. Saya engkau larang masuk. Sebab engkau hendak mencurahkan segala dendam, kesakitan yang telah sekian lama bersarang di dalam hatimu. Lantaran membalas dendam itu, engkau ambil suatu keputusan yang maha kejam. Engkau renggutkan tali pengharapanku, padahal pada tali itu pula pengharapanmu sendiri bergantung. Sebab itu, percayalah Zainuddin bahwa hukuman ini bukan mengenai diriku seorang, bukan ia menimpa celaka kepadaku saja, tetapi kepada kita berdua. Karena saya tahu bahwa engkau masih tetap cinta kepadaku.  Zainuddin, kalau saya tak ada, hidupmu tidak juga akan beruntung. Percayalah, di dalam jiwaku ada suatu kekayaa

Percakapan Ponakan dan Om Tante

A: Ante, ke dokterlah. Supaya tahu sakitnya. Kasihan batuk dan menggigil terus. T: Indaklah. Ante ndak suka minum obat. A: Loh, siapa yang suruh minum obat. Ke dokter saja. R: Ha, lepas tu? Buat apa kita ke dokter, kak? A: Ya cek ajalah. Nanti kalau dikasih resep, tak usah beli kalau tak mau diminum. R: Entah apa-apa kakak ini. Haha, cengkunek. O: Ntah berkelit ke berapa hari ini. Tak mau kalah dia. A: Wah, mestilah, Om. Anak sastra mesti jago berkelit. R: Aduuuh, gimanalah suami kakak nanti itu. Ribut, lah. A: Mana pulak. Indak, lah. R: Kalau dapat yang heboh juga, wah saling berkelit nanti. Jangan sama anak sastra lagi, kak. O: Sama anak ekonomi saja, Nadia. A: Kenapa coba? O: Supaya nanti dia bisa menghitung, "Nah, sudah berkelit berapa kali istriku malam ini?" Kerjaan anak ekonomi, kan, menghitung-hitung saja, Nadia. A: Hahahahha. Alaaaah, si Om!  Medan, dalam mobil Karimun

Review Salon Flaurent Jogja

Heyyyy, guys! Kali ini, saya mau review salon Flaurent Jogja yang baru saja saya kunjungi tadi. Dua tahun lalu, saya juga sempat ke sini bareng ibu, nah kali ini bareng tante. Bisa dibilang, ini salon perempuan pertama yang saya datangi dan memprakarsai hobi baru saya di Depok, yakni nyalon. Wakakaka. Tanteku memberi saran untuk mengambil paket mini yang terdiri dari body spa, hair spa, dan facial . Tiga perawatan ini bisa kalian ambil dengan merogoh kocek Rp125.000,00. Gila. Ini-murah-banget! Salon langgananku aja bisa kena biaya sekitar Rp300.000,00.