Skip to main content

Rindu Yang Begitu Rindu

Ma, Nanad pengin pulang. Nad nggak suka sakit sendirian... Kosan sepiii banget. Ramadan ini Nad nyaris selalu telat bangun sahur. Ya itu tadi, mungkin karena sepi. Nad lebih milih puasa enam belas jam bareng kalian daripada puasa tiga belas jam sendirian. Kangen, kangen masakan Mama. Kangen tarawih di rumah bareng Ayah (kita nggak bisa ke masjid karena terlalu jauh dan selesainya lama sekali)

Maaf ya, Nad nangis. Habisnya Nanad bingung mau ngapain. Terbelenggu rindu yang begitu rindu. Sudah dua tahun lebih kita nggak serumah. Waktu di asrama SMA dulu Nad juga dua tahun sendirian. Bedanya, tiap liburan panjang pasti Nad pulang. Sewaktu berkuliah, satu tahun Nad ngekos sendirian. Bedanya, minimal dua minggu sekali Nad pulang. Pulang. Sekarang, Nad mesti pulang ke mana, Ma? Bohong, ih, kalau rindu sirna ketika pulang ke keluarga besar di Medan atau Jogja. Senang iya, tetapi rindu masih ada.

Terkadang, setahun sekali atau dua kali Ayah ke sini karena tuntutan kerja. Biasanya Ayah di Jakarta selama di lima hari, tetapi Nad hanya dapat berjumpa dengannya sehari dua hari. Namun, tidak apa-apa, setidaknya bisa melepas kangen. Kedatanganmu, Ma, sungguh jarang. Betapa tidak, kau harus menanggung tiket puluhan juta jika ingin pulang ke tanah air. Tiket tidak ditanggung negara seperti Ayah. Itu yang membuat Nad sungguhan rindu. Rindu kau, rindu Fira juga. Terakhir kita jumpa itu bulan Februari 2014. Kau akhirnya pulang bersama Fira karena kakakmu sakit keras. Agak lama juga kau di sini, nyaris dua minggu. Kita masih sempat belanja bareng seperti dulu. Kita masih sempat jalan-jalan seperti dulu. Masih sempat beradu pendapat seperti dulu. Terima kasih waktu itu sudah menyempatkan pulang, Ma. 

Tapi kali ini Nad beneran ingin pulang.
Tahun depan masih lama, ya?

Rindu,
Nadia Almira Sagitta

Comments

  1. Wih nadia, menyentuh banget tulisannya
    nggak nyangka nad nggak keliatan ada masalah, ternyata tegar banget diliat dari luar :)

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Dialog Zainuddin Hayati

"Saya akan berterus terang kepadamu. Saya akan jujur kepadamu. Akan saya panggil kembali namamu, sebagaimana dahulu pernah saya panggilkan. Zainuddin. Saya sudi menanggung segenap cobaan yang menimpa diriku asalkan kau sudi memaafkan segenap kesalahanku." "Maaf? Kau regas segenap pucuk pengharapanku, kau patahkan, kau minta maaf?" "Mengapa kau jawab aku sekejam itu, Zainuddin? Sudah hilangkah tentang kita dari hatimu? Janganlah kau jatuhkan hukuman. Kasihanilah perempuan yang ditimpa musibah berganti-ganti ini." "Iya, demikianlah perempuan. Ia hanya ingat kekejaman orang kepada dirinya walaupun kecil dan ia lupa kekejamannya sendiri pada orang lain padahal begitu besarnya. Lupakah kau siapakah di antara kita yang kejam? Bukankah kau yang telah berjanji ketika saya diusir oleh ninik-mamakmu karena saya asalnya tidak tentu, orang hina-dina, tidak tulen Minangkabau! Ketika itu kau antarkan saya ke simpang jalan, kau berjanji akan menunggu kedatanga

Surat Hayati

Pergantungan jiwaku, Zainuddin Sungguh besar sekali harapanku untuk bisa hidup di dekatmu. Supaya mimpi yang telah engkau rekatkan sekian lamanya bisa makbul. Supaya dapat segala kesalahan yang besar-besar yang telah kuperbuat terhadap dirimu saya tebusi. Tetapi cita-citaku itu tinggal selamanya menjadi cita-cita sebab engkau sendiri yang menutup pintu di depanku. Saya engkau larang masuk. Sebab engkau hendak mencurahkan segala dendam, kesakitan yang telah sekian lama bersarang di dalam hatimu. Lantaran membalas dendam itu, engkau ambil suatu keputusan yang maha kejam. Engkau renggutkan tali pengharapanku, padahal pada tali itu pula pengharapanmu sendiri bergantung. Sebab itu, percayalah Zainuddin bahwa hukuman ini bukan mengenai diriku seorang, bukan ia menimpa celaka kepadaku saja, tetapi kepada kita berdua. Karena saya tahu bahwa engkau masih tetap cinta kepadaku.  Zainuddin, kalau saya tak ada, hidupmu tidak juga akan beruntung. Percayalah, di dalam jiwaku ada suatu kekayaa

Percakapan Ponakan dan Om Tante

A: Ante, ke dokterlah. Supaya tahu sakitnya. Kasihan batuk dan menggigil terus. T: Indaklah. Ante ndak suka minum obat. A: Loh, siapa yang suruh minum obat. Ke dokter saja. R: Ha, lepas tu? Buat apa kita ke dokter, kak? A: Ya cek ajalah. Nanti kalau dikasih resep, tak usah beli kalau tak mau diminum. R: Entah apa-apa kakak ini. Haha, cengkunek. O: Ntah berkelit ke berapa hari ini. Tak mau kalah dia. A: Wah, mestilah, Om. Anak sastra mesti jago berkelit. R: Aduuuh, gimanalah suami kakak nanti itu. Ribut, lah. A: Mana pulak. Indak, lah. R: Kalau dapat yang heboh juga, wah saling berkelit nanti. Jangan sama anak sastra lagi, kak. O: Sama anak ekonomi saja, Nadia. A: Kenapa coba? O: Supaya nanti dia bisa menghitung, "Nah, sudah berkelit berapa kali istriku malam ini?" Kerjaan anak ekonomi, kan, menghitung-hitung saja, Nadia. A: Hahahahha. Alaaaah, si Om!  Medan, dalam mobil Karimun

Review Salon Flaurent Jogja

Heyyyy, guys! Kali ini, saya mau review salon Flaurent Jogja yang baru saja saya kunjungi tadi. Dua tahun lalu, saya juga sempat ke sini bareng ibu, nah kali ini bareng tante. Bisa dibilang, ini salon perempuan pertama yang saya datangi dan memprakarsai hobi baru saya di Depok, yakni nyalon. Wakakaka. Tanteku memberi saran untuk mengambil paket mini yang terdiri dari body spa, hair spa, dan facial . Tiga perawatan ini bisa kalian ambil dengan merogoh kocek Rp125.000,00. Gila. Ini-murah-banget! Salon langgananku aja bisa kena biaya sekitar Rp300.000,00.