Akhirnya novel ini tamat juga. Ini novel tipis paling lama yang kutamatkan. Kubaca sejak semalam hingga waktu menunjukkan pukul satu siang esok hari. Novel ini pun memiliki pengantar lagunya sendiri, satu lagu yang kuputar sejak kemarin hingga kini. Tak kubiarkan lagu lain mengganti posisinya. Sama seperti tak kubiarkan orang lain menggantikan hadirmu di hatiku.
Tahukah kau mengapa?
Deretan-deretan kata Aan Mansyur telah membuatku berkontemplasi atas perasaanku sendiri. Kepada masa lalu yang hendaknya menjadi masa depan. Kepada cinta yang kubiarkan bernaung pada jiwaku. Kepada ia yang barangkali tetap menjadi nanti bagi hidupku. Nanti yang entah kapan singgah lagi.
Perjalanan cinta Jiwa yang tak menemui kebahagiaan membuatku bergidik ngeri. Apa jadinya bila aku memutuskan untuk tidak menikah seumur hidup karena kehilangan ia yang benar kucinta? Atau. Apa jadinya bila aku memutuskan menikah agar terhindar dari pandangan-pandangan sedih kawanku, tanpa melibatkan rasa yang seharusnya tumpah untuk calon suamiku?
Cinta itu luka, kata Eka Kurniawan
Begitu pula kata Rendra, cinta itu racun bagi darahmu
Sementara Aan berkata cinta itu setia
Aku terlalu khawatir akan masa depan, komentar sahabatku. Untuk apa mengkhawatirkan hal-hal yang belum lagi terjadi, lanjutnya. Kurasa ini nasihat emas yang harus kugenggam baik-baik.
***
Entah mengapa aku mendadak puitis beberapa hari ini. Puisi itu candu, begitu pula romansa yang 'kan menjadi masa lalu. Diam-diam aku bersyukur meninggalkan mimpi menjadi sastrawati. Andaikata mimpi itu benar kujalani, barangkali setiap sajak yang kutulis akan kuejawantahkan pelan-pelan. Menjadi mimesis dalam tiap karyaku. Seperti Chairil yang menderita. Aku mudah sekali larut dalam permainan kata-kata juga mudah menangisi kisah cinta yang terhampar di depan mata. Siapa pun kau yang kelak menjadi pasanganku, sedari kini kuperingatkan, calon istrimu memang seringkih ini jiwanya. Untuk itu kuperlu kau tetap menggamit jemariku dan menopang bahuku agar tidak jatuh dan menyerah dengan keadaan.
Aku sesal dan tidak sesal membaca karyamu kali pertama, An. Kau memang lihai menarikan jemari di atas papan ketik yang kemudian menghasilkan untaian kata luar biasa. Kau--para pembaca--yang tertumbuk pada tulisanku mengenai Jiwa dan Nanti dua hari ini harus menyelami sendiri kedalaman cerita yang Aan Mansyur tawarkan. Dua jempol delapan jari untuk Lelaki Terakhir yang Menangis di Bumi. Bravo!
Comments
Post a Comment