Aku masih ingat suatu siang beberapa tahun silam. Aku mengenakan blazer, celana kain, dan sepatu hak tinggi. Kalau tidak salah ingat, aku juga memakai bando. Postur tubuhku yang sudah tinggi dari asalnya semakin tampak menjulang dengan bantuan sepatu.
Aku ingat betapa gugupnya aku menghapalkan berita yang akan kubawakan sore itu. Lalu kau datang membawa kamera dan diam-diam memotretku. Ketika kutangkap matamu sedang menelusuri wajahku, aku melemparkan senyum. Grogi. Begitu pula saat kudapati kau mengarahkan kameramu pada diriku. Tak terhitung berapa kali aku mencak-mencak karena malu. Sudahlah jangan foto aku terus, pintaku. Kau hanya tertawa sejurus lalu kembali memotretku yang sedang manyun.
Tak hanya memotretku, kau juga menyembunyikan binder hijauku yang berisi catatan-catatan sekolah, debat, dan sketsa gambar. Aku berulang kali memintamu mengembalikannya, tetapi kau terus saja memohon buku itu untuk kau pinjam. Kau masih ingat aku tidak menyetujui permohonanmu kala itu? Aku takut kau menghilangkan buku itu, or worse, mengambil tanpa berniat mengembalikannya. Kita berkejaran seperti anak kecil. Kau mudah saja lari-lari keliling aula, sementara aku tergopoh-gopoh berjalan cepat karena harus menyesuaikan keseimbangan. Akhirnya aku menyerah. Okelah, tetapi hanya sehari, pasrahku. Kau tersenyum kegirangan. Aku heran mengapa kau begitu ingin membaca bukuku. Itu hanya kumpulan catatan, tidak ada yang menarik.
Ternyata, keherananku baru terjawab esok hari. Aku menghampirimu dan menagih bukuku. Kau lalu menampakkan raut muka menyesal lalu berkata lempeng bahwa kau lupakan bukuku di rumah kawanmu. Aku tidak percaya dan berpura-pura kesal. Ketika kau kekeuh dengan leluconmu itu, aku ngedumel dan beranjak pergi. Saat itulah kau menahanku.
"Eh, Nad. Jangan marah, dong. Ini kukembalikan bukumu."
"Gitu kek dari tadi. Huh."
"Makasih sudah dipinjamkan. Tapi, jangan kau buka sebelum sampai di rumah, nah."
"Hah, kenapa?"
"Gitu kek dari tadi. Huh."
"Makasih sudah dipinjamkan. Tapi, jangan kau buka sebelum sampai di rumah, nah."
"Hah, kenapa?"
Ini, kan, catatanku. Apa hakmu melarang-larang diriku mengecek halamannya? Aku semakin bingung. Akan tetapi, kusetujui saja agar percakapan konyol kita segera berlalu Hari itu Jumat, aku masih ingat. Kau bersama rombongan kawanmu bersegera salat Jumat. Aku duduk diam di kursiku dan memastikan benar-benar tak ada lagi sosokmu di lokasi. Saat itulah aku membuka lembar per lembar bukuku. Tidak ada yang aneh kecuali beberapa komentar konyol yang kau torehkan di sketsaku. Masih kubolak-balik halamannya hingga mencapai dua halaman terakhir. Ada satu tulisan asing terpampang di sana. Besar. Tegas dan jelas berisi pernyataan cinta.
Jujur, saat itu aku hampir saja kehilangan napas. Jadi ini maksudnya kau kekeuh meminjam bukuku? Untuk menitipkan satu kalimat ini? Asal kau tahu, ini pernyataan paling manis yang pernah kuterima. Walaupun aku tak dapat membalasnya dengan manis pula, aku tetap berterima kasih atas catatan yang kau tuliskan.
Sukses, ya, di kota seberang! Aku berjanji akan melunasi janjiku yang dulu. InsyaaAllah.
Salam,
Nadia Almira Sagitta
Nadia Almira Sagitta
sumber gambar |
Comments
Post a Comment