Skip to main content

Encim

Seminggu ini aku terobsesi dengan kebaya encim. Kebaya sederhana dengan bordiran di bagian leher dan tepi baju. Pakaian ini bisa kau pakai dan di luar dan di dalam rumah. Jika dikenakan saat berjalan-jalan ada kesan semiformal, sementara jika dikenakan di rumah ada kesan bunga desa yang kau dapatkan. Itu menurutku. Tak banyak orang yang berpakaian rapi di rumah. Umumnya semua lelah beraktivitas dengan kemeja, jas, dan blazer di keramaian kota. Ketika sampai di rumah, pakaian kebesaran itu ditanggalkan dan digantikan dengan celana pendek, kaus longgar, atau bahkan daster. Bagi perempuan menikah, tentu saja ia tahu pakaian seperti itu tak mampu memikat perhatian. Aku merasa tidak adil saja bila di luar harus bersaingan mode dengan wanita-wanita kota, sementara di rumah tak bisa mempertahankan keahlian bermode di depan mata suami sendiri. Jangan kau heran dari mana kudapatkan sepenggal nasihat ini, aku pernah membacanya di satu buku.

Aku ingin menjadi seperti perempuan di dalam video klip ini. Mengenakan kebaya encim dan rok putih. Seperti orang zaman dahulu. Biar saja kesan bunga desa melekat kuat pada diriku. Benar aku memuji selera berpakaian orang-orang tua. Aku memuji pakaian budaya yang mereka kenakan. Bukankah memang sejak mulanya wanita-wanita Indonesia menjunjung tinggi kesopanan? Tak pantas kita teperdaya dengan budaya pakaian Barat yang memamerkan bahu, paha, dan dada sesuka hati. Di samping itu, aku ingin menjadi kembang bunga yang sedang mekar di hadapannya. Menjadi putri yang lantas dikagumi karena kecantikannya. Aku tahu kriteria cantik 'kan kalah dengan kriteria ketaatan kepada Tuhan, tetapi aku tak bisa bohong aku juga ingin dipuji menarik.

Aku sudah menyurvei harga kebaya encim. Label harganya memaksaku untuk segera menabung. Berusaha untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Nanti segera kukabari bila encim idaman sudah berpindah tangan. Selamat malam dan selamat mengenali lagi identitas budaya negeri.

Cheers,
Nadia Almira Sagitta


Youtube @RanTVIndonesia

Comments

Popular posts from this blog

Dialog Zainuddin Hayati

"Saya akan berterus terang kepadamu. Saya akan jujur kepadamu. Akan saya panggil kembali namamu, sebagaimana dahulu pernah saya panggilkan. Zainuddin. Saya sudi menanggung segenap cobaan yang menimpa diriku asalkan kau sudi memaafkan segenap kesalahanku." "Maaf? Kau regas segenap pucuk pengharapanku, kau patahkan, kau minta maaf?" "Mengapa kau jawab aku sekejam itu, Zainuddin? Sudah hilangkah tentang kita dari hatimu? Janganlah kau jatuhkan hukuman. Kasihanilah perempuan yang ditimpa musibah berganti-ganti ini." "Iya, demikianlah perempuan. Ia hanya ingat kekejaman orang kepada dirinya walaupun kecil dan ia lupa kekejamannya sendiri pada orang lain padahal begitu besarnya. Lupakah kau siapakah di antara kita yang kejam? Bukankah kau yang telah berjanji ketika saya diusir oleh ninik-mamakmu karena saya asalnya tidak tentu, orang hina-dina, tidak tulen Minangkabau! Ketika itu kau antarkan saya ke simpang jalan, kau berjanji akan menunggu kedatanga

Surat Hayati

Pergantungan jiwaku, Zainuddin Sungguh besar sekali harapanku untuk bisa hidup di dekatmu. Supaya mimpi yang telah engkau rekatkan sekian lamanya bisa makbul. Supaya dapat segala kesalahan yang besar-besar yang telah kuperbuat terhadap dirimu saya tebusi. Tetapi cita-citaku itu tinggal selamanya menjadi cita-cita sebab engkau sendiri yang menutup pintu di depanku. Saya engkau larang masuk. Sebab engkau hendak mencurahkan segala dendam, kesakitan yang telah sekian lama bersarang di dalam hatimu. Lantaran membalas dendam itu, engkau ambil suatu keputusan yang maha kejam. Engkau renggutkan tali pengharapanku, padahal pada tali itu pula pengharapanmu sendiri bergantung. Sebab itu, percayalah Zainuddin bahwa hukuman ini bukan mengenai diriku seorang, bukan ia menimpa celaka kepadaku saja, tetapi kepada kita berdua. Karena saya tahu bahwa engkau masih tetap cinta kepadaku.  Zainuddin, kalau saya tak ada, hidupmu tidak juga akan beruntung. Percayalah, di dalam jiwaku ada suatu kekayaa

Percakapan Ponakan dan Om Tante

A: Ante, ke dokterlah. Supaya tahu sakitnya. Kasihan batuk dan menggigil terus. T: Indaklah. Ante ndak suka minum obat. A: Loh, siapa yang suruh minum obat. Ke dokter saja. R: Ha, lepas tu? Buat apa kita ke dokter, kak? A: Ya cek ajalah. Nanti kalau dikasih resep, tak usah beli kalau tak mau diminum. R: Entah apa-apa kakak ini. Haha, cengkunek. O: Ntah berkelit ke berapa hari ini. Tak mau kalah dia. A: Wah, mestilah, Om. Anak sastra mesti jago berkelit. R: Aduuuh, gimanalah suami kakak nanti itu. Ribut, lah. A: Mana pulak. Indak, lah. R: Kalau dapat yang heboh juga, wah saling berkelit nanti. Jangan sama anak sastra lagi, kak. O: Sama anak ekonomi saja, Nadia. A: Kenapa coba? O: Supaya nanti dia bisa menghitung, "Nah, sudah berkelit berapa kali istriku malam ini?" Kerjaan anak ekonomi, kan, menghitung-hitung saja, Nadia. A: Hahahahha. Alaaaah, si Om!  Medan, dalam mobil Karimun

Review Salon Flaurent Jogja

Heyyyy, guys! Kali ini, saya mau review salon Flaurent Jogja yang baru saja saya kunjungi tadi. Dua tahun lalu, saya juga sempat ke sini bareng ibu, nah kali ini bareng tante. Bisa dibilang, ini salon perempuan pertama yang saya datangi dan memprakarsai hobi baru saya di Depok, yakni nyalon. Wakakaka. Tanteku memberi saran untuk mengambil paket mini yang terdiri dari body spa, hair spa, dan facial . Tiga perawatan ini bisa kalian ambil dengan merogoh kocek Rp125.000,00. Gila. Ini-murah-banget! Salon langgananku aja bisa kena biaya sekitar Rp300.000,00.