Baru saja kubaca artikel ini: http://stuffhappens.us/a-boy-at-school-snapped-her-15430/
Isinya tentang anak perempuan yang dikerjai teman sekelasnya. Tali branya ditarik-lepaskan di kelas saat pelajaran sedang berlangsung. Ketika ia mengadukan hal tersebut kepada guru, si guru malah memintanya untuk mengabaikan perlakuan temannya. WHAT THE HELL. Guru atau guru, tuh? Jelas-jelas itu pelecehan. Zbl.
Well, aku bisa marah seperti ini karena pernah mengalami hal yang sama sewaktu SMP. Bedanya, aku tidak melaporkan hal tersebut lantaran malu. Malu sama guru, malu sama diri sendiri. Kekesalanku luar biasa memuncak saat itu, tetapi hanya bisa diam. Barangkali bukan hanya aku yang mengalami hal tersebut. Barangkali salah satu dari kalian pernah ditarik roknya, disuit-suitin, nyaris dicium, disentuh di bagian tertentu, barangkali barangkali. Hadeh.
Itu kejadian beberapa tahun silam. Sekarang kondisinya tentu beda. Dengan pergaulan yang makin bebas ini, aku yakin begitu banyak pelecehan yang diterima perempuan. Herannya, beberapa dari mereka justru menikmati dilecehkan seperti itu. Gila emang. Contohnya, saat saya menjadi pengajar di daerah Depok, saya melihat sendiri beberapa anak kelas VI SD berpacaran. Berdasarkan pengakuan kawan-kawan sekelasnya, si pacar pernah memegang dada si perempuan. Aje gile. Kelas enam, lho, ini. ESDE!
Bermula dari pelecehan seksual, bentuk apa pun itu, seorang perempuan mulai merasa insecure dengan tubuhnya. Dia bisa merasa tidak berharga. You know what, that is the worst feeling in the world! Tekanan psikologis seperti itu makin menjadi apabila dia tak punya keberanian untuk membela dirinya sendiri. Perempuan selayaknya bertindak pasif, itu mindset yang tertanam di kepala masyarakat kita. Nrimo wae, pasrah, perempuan tak bisa apa-apa. Ketika tangan laki-laki nyosor ke mana-mana, kita cuma bisa diam. Paling banter cuma melotot ke dia lalu kita melengos pergi. Ini serius, beberapa kawan juga pernah mengadukan perlakuan tidak menyenangkan yang ia alami di jalan oleh orang yang tidak ia kenali padaku. Mereka terkaget sejenak, tetapi tak kuasa membalas. Pulang-pulang nangis. Menyesali diri sendiri. Padahal apa yang mau disesali? Bukan salah kita, kan, laki-lakinya aja yang bangsat. Pardon, my language!
Bukan saatnya lagi perempuan menye-menye. Perempuan harus tangguh, harus berani bersuara, harus berani melawan. Kejadian tersebut kamu alami di sekolah, kampus, kantor, atau angkutan umum? LAPOR! Minta seorang teman untuk menemani kamu menghadap ke guru BK atau siapa pun yang berwenang. Setelah itu, LAWAN! Kita perlu belajar bela diri, nih. Hm, karate, thifan, taekwondo? You name it.
Pokoknya, kalau di jalan, kita nggak boleh masang tampang loyo, lemah, dan polos. Pasang tampang galak atau acuh tak acuh aja, nggak apa-apa, kok. Pokoknya cari cara supaya kita tidak jadi sasaran empuk godaan laki-laki.
Standing applause buat ibu dalam cerita tadi karena membela anaknya mati-matian! Semoga perempuan-perempuan Indonesia juga berani bersuara demi membela haknya sebagai perempuan. Kita butuh dihargai, bukan? Masa depan suatu generasi bergantung pada wanita-wanitanya. Maka dari itu, kita perlu menjaga, menghormati, dan melestarikan wanita. (Kau kira ini hewan langka, Nad? Wuakakak, canda!) Intinya, hargailah wanita, kawan. :')
Salam,
Nadia Almira Sagitta
Nadia Almira Sagitta
Hai Nadia,
ReplyDeleteKenalin, Aku Elwi, Asisten Kampanye Divisi Partisipasi Masyarakat Komnas Perempuan. Tulisanmu ini bagus sekali, penulisannya enak dibaca, dan juga sangat informatif.
Sekedar tambahan, Komnas Perempuan mencatat di tahun 2014, ada 293.220 kasus Kekerasan terhadap Perempuan yang dilaporkan. Namun, rata-rata hanya 1 dari 8 perempuan korban kekerasan yang berani melaporkan kasusnya. Setidaknya ada 3 faktor utama mengapa perempuan korban diam, yakni: takut, malu dan tidak tahu harus melapor ke mana.
Komnas Perempuan terus dorong agar korban tidak mendiamkan kasusnya, diam tidak selamanya emas.
terus menulis yaa, Nadia! Follow juga Komnas Perempuan via twitter di @KomnasPerempuan