Skip to main content

Diam-diam berpuisi

Kau memilih diam dibanding berdusta. Terkadang aku kagum dengan kegigihanmu menyimpan cerita. Selalu saja menumpuk kisah di dalam hati.

Kau diam saja ketika melangkah melewatiku. Kau tak pernah punya nyali untuk sekadar menyapaku. Mulanya kubiarkan saja, tetapi akhir-akhir ini aku gemas. Mengapa bibir itu terkatup saja? Apa sulitnya mengeja namaku yang hanya terdiri dari lima huruf? Aku tahu kau punya sesuatu untukku. Aku tahu kau menyimpan cerita tentangku di sarang pikiranmu. Aku pernah mendapatimu dua kali menatapku dari kejauhan. Kau menatapku lama sekali. Seolah ingin berkirim pesan melalui sepasang mata bola.
 
Kau pendiam juga misterius. Dua hal itu menimbulkan sejuta tanya di benakku, membuatku ingin mengenalimu lebih dalam. Aku sungguh ingin membacamu. Sayang, tak pernah kau suguhkan kata-kata berbalut perasaan dalam lisan maupun tulisan. Aku lalu hilang cara. 

Maka aku diam-diam saja di bilik ini. Banyak menulis dan membaca. Selama ini aku selalu menulis tentang kamu, tetapi tidak sekalipun dapat membaca kamu. Aku tidak tahu-menahu pribadi yang bersembunyi di balik sikap diam dan hening itu. Apakah kau sosok yang dingin, puitis, atau romantis. Aku tak tahu itu.
 
Membaca Jiwa dan Nanti pagi ini, aku terhenti di halaman kesembilan puluh. Ada sosok bernama Riana dalam masa lalu Jiwa. Riana dan Jiwa sempat berpacaran. Saling berpeluk mesra melalui rangkaian aksara yang ditukar setiap pagi.

Ada satu kata Riana yang aku suka, "Kau tahu apa yang aku suka dari penyair? Sesungguhnya bukan apa yang mereka tuliskan, melainkan apa yang mereka bisikkan. Kau menuliskan sesuatu melalui surat dan cerita. Kau membisikkan banyak hal ke telingaku melalui puisi."

Aku tak berkeberatan bila kau memilih diam, tetapi diam-diam begitu cerewet mendeskripsikan sosokku pada secarik kertas. Aku ingin tahu sudah berapa lembar tulisan tentangku yang kau tuliskan. Bagaimana bentuknya, puisi, prosa, ataukah drama? Atau hanya corat-coret tak beraturan di halaman kuarto putih? Aku ingin menjadi tokoh utama dalam setiap cerita yang selalu kau simpan sendiri. Sama sepertiku yang menjadikan dirimu tokoh utama dan terutama dalam setiap tarian penaku. 

Bila kau belum mulai menulisku, lakukanlah meski hanya sekali. Tulislah walaupun hanya tiga kata, sesingkat aku cinta kamu. Aku menunggu keberanianmu mengirimkan bait-bait kalimat itu padaku. Entah kini, entah nanti.

Luv,
Nadia Almira Sagitta

Comments

Popular posts from this blog

Dialog Zainuddin Hayati

"Saya akan berterus terang kepadamu. Saya akan jujur kepadamu. Akan saya panggil kembali namamu, sebagaimana dahulu pernah saya panggilkan. Zainuddin. Saya sudi menanggung segenap cobaan yang menimpa diriku asalkan kau sudi memaafkan segenap kesalahanku." "Maaf? Kau regas segenap pucuk pengharapanku, kau patahkan, kau minta maaf?" "Mengapa kau jawab aku sekejam itu, Zainuddin? Sudah hilangkah tentang kita dari hatimu? Janganlah kau jatuhkan hukuman. Kasihanilah perempuan yang ditimpa musibah berganti-ganti ini." "Iya, demikianlah perempuan. Ia hanya ingat kekejaman orang kepada dirinya walaupun kecil dan ia lupa kekejamannya sendiri pada orang lain padahal begitu besarnya. Lupakah kau siapakah di antara kita yang kejam? Bukankah kau yang telah berjanji ketika saya diusir oleh ninik-mamakmu karena saya asalnya tidak tentu, orang hina-dina, tidak tulen Minangkabau! Ketika itu kau antarkan saya ke simpang jalan, kau berjanji akan menunggu kedatanga...

Surat Hayati

Pergantungan jiwaku, Zainuddin Sungguh besar sekali harapanku untuk bisa hidup di dekatmu. Supaya mimpi yang telah engkau rekatkan sekian lamanya bisa makbul. Supaya dapat segala kesalahan yang besar-besar yang telah kuperbuat terhadap dirimu saya tebusi. Tetapi cita-citaku itu tinggal selamanya menjadi cita-cita sebab engkau sendiri yang menutup pintu di depanku. Saya engkau larang masuk. Sebab engkau hendak mencurahkan segala dendam, kesakitan yang telah sekian lama bersarang di dalam hatimu. Lantaran membalas dendam itu, engkau ambil suatu keputusan yang maha kejam. Engkau renggutkan tali pengharapanku, padahal pada tali itu pula pengharapanmu sendiri bergantung. Sebab itu, percayalah Zainuddin bahwa hukuman ini bukan mengenai diriku seorang, bukan ia menimpa celaka kepadaku saja, tetapi kepada kita berdua. Karena saya tahu bahwa engkau masih tetap cinta kepadaku.  Zainuddin, kalau saya tak ada, hidupmu tidak juga akan beruntung. Percayalah, di dalam jiwaku ada suatu kek...

Review Salon Flaurent Jogja

Heyyyy, guys! Kali ini, saya mau review salon Flaurent Jogja yang baru saja saya kunjungi tadi. Dua tahun lalu, saya juga sempat ke sini bareng ibu, nah kali ini bareng tante. Bisa dibilang, ini salon perempuan pertama yang saya datangi dan memprakarsai hobi baru saya di Depok, yakni nyalon. Wakakaka. Tanteku memberi saran untuk mengambil paket mini yang terdiri dari body spa, hair spa, dan facial . Tiga perawatan ini bisa kalian ambil dengan merogoh kocek Rp125.000,00. Gila. Ini-murah-banget! Salon langgananku aja bisa kena biaya sekitar Rp300.000,00.

Percakapan Ponakan dan Om Tante

A: Ante, ke dokterlah. Supaya tahu sakitnya. Kasihan batuk dan menggigil terus. T: Indaklah. Ante ndak suka minum obat. A: Loh, siapa yang suruh minum obat. Ke dokter saja. R: Ha, lepas tu? Buat apa kita ke dokter, kak? A: Ya cek ajalah. Nanti kalau dikasih resep, tak usah beli kalau tak mau diminum. R: Entah apa-apa kakak ini. Haha, cengkunek. O: Ntah berkelit ke berapa hari ini. Tak mau kalah dia. A: Wah, mestilah, Om. Anak sastra mesti jago berkelit. R: Aduuuh, gimanalah suami kakak nanti itu. Ribut, lah. A: Mana pulak. Indak, lah. R: Kalau dapat yang heboh juga, wah saling berkelit nanti. Jangan sama anak sastra lagi, kak. O: Sama anak ekonomi saja, Nadia. A: Kenapa coba? O: Supaya nanti dia bisa menghitung, "Nah, sudah berkelit berapa kali istriku malam ini?" Kerjaan anak ekonomi, kan, menghitung-hitung saja, Nadia. A: Hahahahha. Alaaaah, si Om!  Medan, dalam mobil Karimun